Bogor.WAHANANEWS.CO - Libur panjang Isra Miraj dan Tahun Baru Imlek 2025 membawa ribuan wisatawan ke kawasan Puncak Bogor.
Namun, di balik kepadatan lalu lintas dan pemandangan alam yang indah, banyak wisatawan mengeluhkan keberadaan 'Pak Ogah' dan joki jalanan yang meresahkan.
Baca Juga:
Beda Konsumen Penerima Diskon Listrik, ALPERKLINAS: Prabayar Berlaku Januari-Februari, Pascabayar untuk Februari-Maret
Fenomena ini menjadi sorotan, terutama dalam konteks kenyamanan dan keamanan wisatawan yang berkunjung.
Domy Sokara, pengamat pariwisata dari Universitas Padjadjaran Bandung, menilai keberadaan Pak Ogah dan joki jalanan di Puncak Bogor sebagai potret buruk manajemen pariwisata yang harus segera dibenahi.
Menurutnya, keberadaan mereka tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan bagi wisatawan tetapi juga berkontribusi pada maraknya pungutan liar yang tidak terkontrol.
Baca Juga:
Kasus Satpam Tewas Ditusuk Majikan, Polresta Bogor Gelar Rekonstruksi
"Jika terus dibiarkan, praktik ini akan mencoreng citra Puncak sebagai destinasi wisata unggulan. Pengunjung akan merasa tidak aman dan justru menghindari kawasan ini di masa mendatang. Ini berdampak langsung pada ekonomi lokal yang bergantung pada sektor pariwisata," ujar Domy.
Menurutnya, akar masalah ini bukan sekadar persoalan ekonomi masyarakat lokal yang mencari penghasilan tambahan, tetapi juga lemahnya regulasi dan penegakan hukum.
"Kita melihat ada pembiaran yang berulang. Razia dilakukan, tapi tidak ada solusi berkelanjutan. Premanisme semacam ini hanya akan hilang jika ada sistem pengelolaan lalu lintas yang lebih baik dan pemberdayaan ekonomi yang tepat," tambahnya.
Dari segi regulasi, sebenarnya sudah ada aturan yang melarang pungutan liar di jalan raya.
Bahkan, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo pernah menyerukan agar masyarakat melapor jika mengalami aksi premanisme melalui layanan Hotline 110.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penertiban juru parkir liar maupun Pak Ogah masih jauh dari harapan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bogor, Yudi Santoso, menyatakan pihaknya telah mengambil langkah untuk menertibkan fenomena ini dengan cara memberikan rompi resmi kepada para Pak Ogah dan joki jalanan.
Menurutnya, hal ini bertujuan agar mereka lebih tertata dan memiliki tanggung jawab di bawah pengawasan pemerintah daerah.
Namun, Domy menilai pendekatan ini tidak cukup.
"Solusi yang diberikan masih bersifat sementara dan tidak menyentuh akar masalah. Jika pemerintah serius ingin membenahi sektor ini, harus ada pendekatan yang lebih sistematis, seperti pengaturan lalu lintas yang lebih baik, penertiban berkelanjutan dengan sanksi tegas, serta penciptaan lapangan pekerjaan alternatif bagi mereka yang bergantung pada praktik ini," jelasnya.
Lebih lanjut, Domy menyarankan agar pemerintah daerah bekerja sama dengan aparat kepolisian, Dinas Perhubungan, dan pelaku usaha wisata untuk menciptakan mekanisme yang lebih tertata.
Salah satu usulan konkret yang bisa diterapkan adalah menambah petugas resmi di titik-titik rawan serta memasang kamera pengawas untuk memastikan tidak ada praktik pemerasan terhadap wisatawan.
"Jangan sampai wisatawan kapok datang ke Puncak hanya karena pengalaman buruk di jalanan. Pariwisata harus dikelola dengan profesional, bukan sekadar mengandalkan daya tarik alam tanpa adanya perbaikan sistem," pungkasnya.
Keberadaan Pak Ogah dan joki jalanan di Puncak Bogor adalah cerminan dari lemahnya pengawasan dan kurangnya solusi jangka panjang.
Tanpa langkah nyata yang lebih strategis, potret buruk ini akan terus berulang dan berpotensi merugikan industri pariwisata secara keseluruhan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]